Kak Echo
Saturday, June 09, 2012
Berpuas diri adalah ibarat membuat bangunan dengan menumpuk kartu remi,
karena kalaulah hidup ini mengajarkan sesuatu, pelajarannya adalah
bahwa kita tidak dapat menghindari masalah dan kehilangan. Kebahagiaan
bukanlah seni membangun kehidupan yang bebas dari masalah. Kebahagiaan
adalah seni untuk merespons dengan baik ketika masalah menghampiri kita.
Saya sendiri mengalami patah hati ketika usia dini.
Waktu itu saya
masih muda dan jatuh cinta, [saya] seorang doktor di bidang psikologi
yang sedang menanjak, baru saja berkeluarga, dan merasa kurang lebih
sudah mapan. Lalu, dunia saya terasa runtuh. Saya sedang menikmati hari
paling indah dalam hidup saya. Anak lelaki kedua saya lahir, dan dia
begitu lembut, kecil, dan menggemaskan. Saya melihat adanya kemiripan
wajah dengan saya, dan rasanya seperti menemukan emas. Saya membayangkan
kehidupan terbentang di hadapannya–masa bayi, masa balita, kanak-kanak,
masa kuliah, dan seterusnya–dan semua itu membuat hidup saya terasa
jauh lebih bahagia dan menyatu dengan dunia. Ketika saya menggendong si
kecil riang, dia seperti cinta yang sedang mewujud sebagai manusia kecil
di tangan saya. Dan kemudian dokter berkata, “Ada yang tidak beres.”
Keberanian saya lenyap seketika dan saya bisa merasakan degup jantung
seperti menendang dari dalam dada ketika dokter mulai merangsang Ryan
untuk bernapas. Tidak lama kemudian, saat Ryan berguling tidak menentu
dalam inkubator di balik dinding kaca tebal, dokter mengatakan kepada
saya dengan suara tegang bahwa Ryan tampaknya mengidap sindroma selaput
hyaline, kegagalan fungsi kantong alveolar di paru-paru. Rumah sakit itu
tidak punya perlengkapan untuk menangani masalah itu, jadi Ryan
dilarikan dengan ambulans ke rumah sakit yang lebih lengkap di kota
besar. Kenangan akan ambulans itu, lampu merah yang menyala-nyala di
malam gulita, terpatri ke dalam otak saya. Kami mengupayakan segala yang
bisa diupayakan, termasuk berdoa, tentunya, tapi si kecil Ryan akhirnya
meninggal. Oleh karena istri saya masih dirawat di rumah sakit untuk
pemulihan setelah melahirkan dengan operasi cesar, saya harus
menyelesaikan segala urusan kematian itu sendiri–mencari penyedia jasa
penguburan di buku telepon, memilih lokasi pemakaman yang sekiranya
pantas, membeli peti jenazah yang berukuran kecil, dan memesan batu
nisan serta berusaha memikirkan kata-kata apa yang akan ditorehkan di
atasnya. Apa yang bisa saya katakan? Percayalah, kata-kata saya ini
tidak perlu dibuktikan lagi:
kenangan paling buruk dalam hidup Anda
tidak akan pernah memudar. Saya tenggelam dalam kesedihan. Bahkan
sekarang, betapa pun pedih hati ini karena kematian ayah saya, saya tahu
bahwa tidak ada yang bisa mengobati nestapa yang menyiksa saya ketika
itu. Saya tidak bisa dihibur, takut untuk mengawali setiap hari, dan
bahkan lebih takut lagi menghadapi masa depan yang terbentang, merasa
benar-benar tak berdaya untuk menyelamatkan emosi saya dari perasaan
terpuruk, terpuruk, dan terpuruk. Saya bertanya kepada Tuhan, “Mengapa
saya?” Dan setiap kali saya merasa mendapat jawaban, saya membantahnya.
Tidak, kami tidak menjadwalkannya kelahiran itu terlalu cepat. Bukan,
bukan salahku kalau rumah sakit kecil itu tidak bisa menolongnya. Tidak,
penyakit itu bukan bawaan. Tidak, saya tidak melakukan sesuatu yang
begitu jahat sehingga pantas menerima semua ini. Saya bergulat dengan
Tuhan–tetapi itulah pergulatan yang tidak pernah Anda menangi. Karena
hidup saya terus berjalan, tidak peduli saya suka atau tidak, saya
berusaha menyatukan kembali serpihan dunia saya. Tetapi, seperti juga
kebanyakan orang–bahkan sebagai seorang psikolog muda yang semestinya
lebih arif–saya berusaha menemukan kembali dunia saya dengan menggunakan
mekanisme-mekanisme penyesuaian diri yang lebih membahayakan daripada
membantu. Pada saat itu, semuanya terasa masuk akal, bahkan terasa
berani. Walaupun begitu, sejak itulah saya sadar bahwa mekanisme
penyesuaian diri yang saya gunakan justru malah memperkuat tembok
penjara kesedihan dan rasa takut.
Sekarang, saya punya sebutan rendah
untuk mekanisme penyesuaian diri yang tidak memperbaiki keadaan itu: 5M
Menyesatkan. Sambil berjuang untuk bertahan secara emosional, saya
menuntut agar nasib saya diubah, meskipun tidak akan ada perubahan yang
mungkin terasa cukup. Ketika saya merasa tidak puas dengan segala yang
terjadi, saya meremehkan upaya saya untuk pulih, dan semakin tenggelam
dalam ketidakberdayaan. Lalu, saya mulai mengutuk diri sendiri dan
berpikir bahwa entah bagaimana saya memang layak menerima tragedi ini,
karena saya tidak cukup arif untuk mengenali suatu kekurangan pada diri
saya. Alih-alih berusaha memetik pelajaran dari peristiwa kehilangan
itu, saya mengabaikan segala hikmah dari sana. Saya melihat semua itu
sebagai derita dan tidak ada hal lain di luar itu. Dan saat
kegagalan-kegagalan saling bertumpuk, saya mati-matian menggandakan
semua upaya salah kaprah itu, mengira bahwa kalau saja saya bisa
mencurahkan lebih banyak perasaan dan jiwa saya ke dalam siksaan ini,
saya akan menemukan jalan keluar.
Semua itu tidak pernah menjadi nyata.
5M Menyesatkan akan selalu mengkhianati Anda. Sungguh mengherankan jika
mereka begitu terkenal. Kemudian suatu hari, ketika saya sudah tidak
tahan lagi untuk menanggung bahkan satu detik pun serangan pikiran yang
mengerikan, saya berpura-pura selama beberapa detik, atau mungkin hanya
satu atau dua menit, bahwa Ryan masih hidup di tengah-tengah kami, dan
saya membiarkan diri saya mencintainya, seperti saat pertama kali saya
menggendongnya. Untuk beberapa waktu yang singkat itu, kegelapan pun
memudar. Penyangkalan memang berfungsi sebagai oasis yang nyaman. Namun,
saya jadi bertanya-tanya apakah benar penyangkalan itu yang mengobati
saya? Di dalam kepala, saya benar-benar sadar bahwa anak saya sudah
meninggal. Jadi, tanpa kepura-puraan itu pun saya kembali membiarkan
diri untuk memusatkan rasa cinta saya kepada Ryan.
Dan perasaan damai
dari derita itu pun kembali lagi. Lama-lama–setelah begitu lama–saya
temukan bahwa ketika saya sengaja membiarkan diri untuk mengumpulkan
segenap cinta kepada Ryan, saya benar-benar merasa lebih baik–kejutan
aneh–alih-alih merasa lebih buruk. Saya juga menemukan bahwa saya masih
bisa mencinta Ryan walaupun nyatanya dia tidak akan pernah membalas
cinta saya–bahkan tidak akan pernah mengenal saya. Saya sadar bahwa
cinta saya kepada Ryan (dan bukan cinta dia kepada saya) adalah warisan
yang dia tinggalkan, dan tak seorang pun bisa merenggutnya. Kecuali saya
sendiri. Dan saya tidak mau melepaskannya. Cinta itu terlalu kuat dan
terlalu indah. Cinta itulah satu-satunya perasaan yang lebih kuat
daripada derita akibat kehilangan. Setiap hari, awalnya dengan air mata,
saya menyisihkan waktu beristirahat untuk menikmati kedamaian rasa
cinta saya untuk si kecil. Secara bertahap, rasa cinta yang saya rasakan
mulai memberkahi saya dengan lebih dari sekadar pelarian dari derita.
Cinta itu juga memberi saya kekuatan emosional untuk memaafkan, dan
berhenti menyiksa diri saya dengan pertanyaan “Mengapa saya?” Dalam
pembunuhan emosi seperti ini, seseorang hanya bisa menyalahkan siapa
saja dan semua orang–dokter yang semestinya lebih tahu, sopir ambulans
yang seharusnya bisa menyetir lebih cepat, para pembayar pajak yang
menolak untuk membangun rumah sakit yang lebih besar. Diri sendiri.
Nasib. Tuhan. Akan tetapi, saya memaafkan. Saya melepas pertemanan saya
dengan amarah yang terasa sedikit nyaman itu. Ketika saya melakukan
semua ini, saya menemukan bahwa kemarahan saya hanyalah emosi pengganti
untuk derita yang jauh lebih besar, dan bahkan jauh lebih sulit untuk
diatasi.
Derita yang lebih besar itu adalah rasa takut–rasa takut untuk
menjalani sisa hidup saya yang tidak berharga lagi tanpa kehadiran anak
lelaki saya, serta nasib dan Tuhan yang seolah-olah tengah menghalangi
saya. Semakin saya memaafkan, saya semakin bisa memahami dan menyadari
bahwa walaupun Ryan telah tiada, baik Tuhan maupun orang lain tidak
pernah menghalangi saya, dan nasib saya masih bisa berubah. Pemaafan itu
memberkahi saya dengan rasa aman di dalam diri dan memberi saya
kesadaran akan kekuatan pribadi yang tidak terduga. Saya tidak lagi
merasa bahwa seolah-oleh emosi saya sangat bergantung pada tindakan
orang lain dan pada nasib itu sendiri. Kesedihan bisa saja menghantam
saya berulang-ulang, tetapi kehidupan tidak bisa membuat saya membenci
siapa pun–bahkan tidak diri saya sendiri. Saya perlahan-lahan meraih
kembali kekuatan, seperti layaknya seseorang yang telah berperang
melawan penyakit yang parah, dan saya jadi lebih mampu untuk mengulurkan
tangan dan membantu orang lain–keluarga saya yang tengah berduka,
klien, dan teman-teman saya–dan saya mendapatkan kejutan lain. Meskipun
saya sendiri masih perlu menghimpun kekuatan, justru dengan membantu
orang lain, saya bisa memperoleh dayahidup yang lebih besar daripada
yang saya berikan.
Semakin banyak semangat dan cinta yang saya curahkan
kepada orang lain, saya semakin merasakan diri saya terisi kembali
dengan kehidupan dan harapan. Saya temukan bahwa kehidupan di dunia saat
ini lebih berharga daripada kemelut di dalam diri saya. Dan pada suatu
pagi yang biasa tanpa keriuhan, sebagaimana layaknya ketika perubahan
sejati berlangsung, saya sadar bahwa telah tumbuh pengetahuan baru di
dalam diri saya. Jenis pengetahuan yang membebaskan dan bukan sekadar
ilusi yang biasanya hanya diperoleh lewat penderitaan. Saya tahu bahwa
cinta saya kepada Ryan adalah milik saya selamanya, tersimpan di dalam
hati, dan abadi.
Saya tahu bahwa tidak ada peristiwa lain yang bisa
membuat saya hancur secara keseluruhan. Saya tahu bahwa hidup teramat
berharga dan singkat, dan bahwa sejak saat itu, saya akan memerhatikan
anak pertama saya, Brett, jauh lebih baik daripada sebelumnya. Dan saya
belajar bahwa jika saya mencurahkan cinta saya kepada Ryan, keluarga,
teman-teman, dan klien-klien, jiwa saya akan kembali utuh. Semua
pelajaran ini luar biasa berharga bagi saya. Namun, saya tahu, bahkan
sejak pagi itu, bahwa saya tidak akan pernah mempelajarinya tanpa
mengalami penderitaan terlebih dahulu. Jadi, pada hari yang sebenarnya
itu, saya menjelma sebagai sosok yang optimistis. Saya belajar bahwa
optimisme adalah: mengetahui semakin menyakitkan peristiwa yang dialami,
semakin besar pula hikmah yang akan diperoleh.
Kutipan dari Dan Baker & Cameron Stauth, Pergulatan Cinta dan Rasa Takut (Bandung: Kaifa, 2006), hlm.158-166
0 comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.