#Kisah Persahabatan yang Berakhir Tragis
Tahun 1915, adalah tahun bersejarah bagi Soekarno remaja. Saat itu usianya 14 tahun dan berhasil lulus ke sebuah sekolah bergengsi Hindia Belanda, Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Atas kemurahan hati H.O.S Cokroaminoto, Soekarno disilakan tinggal di pondokan milik pria dengan julukan "Sang Raja tanpa Mahkota" di Surabaya.
Di situlah Soekarno mulai mengenal politik, mulai mengenal "Sarekat Islam" partai yang dipimpin Cokroaminoto, dan mulai mengenal calon tokoh-tokoh Sarekat Islam lain seperti Muso, Alimin, Kartosuwirjo, dan lain-lain. Cokroaminoto sendiri bagi Soekarno sudah seperti bapak, guru, sekaligus panutan (bahkan sempat menjadi mertua).
Di rumah yang sekarang beralamat di Jl. Peneleh VII No. 29-31 Surabaya itulah Soekarno memiliki keluarga baru.
Suatu hari Cokroaminoto berpesan pada murid-muridnya "Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan, dan bicaralah seperti orator". Pesan sakti yang menginspirasi para murid, utamanya Soekarno. Ia mematrikan pesan itu dalam hati dan pikirannya. Hingga setiap malam ia dengan suara besar dan menggebu-gebu rutin berlatih pidato di hadapan cermin.
Tak jarang suara Soekarno yang serius berlakon laksana orang besar itu membuat saudara seperguruan Soekarno yang lebih senior, Muso menegur agar Soekarno berhenti berkicau. Tapi sering juga keseriusan Soekarno berlatih menjadi orator membuat Abang, panggilan Soekarno pada Muso, dan kawan-kawan pondokannya yang lain tertawa.
Di antara semua teman berguru Soekarno, Kartosuwirjo lah yang paling gemar mengolok Soekarno dengan nada bercanda “Hei Karno, buat apa berpidato di depan kaca? Seperti orang gila saja,” Mendengar itu Soekarno saat sudah selesai dengan latihannya membalas "Tidak seperti kamu, sudah kurus, kecil, pendek, keriting, mana bisa jadi orang besar!" Lalu keduanya pun...
... Lalu keduanya pun tertawa renyah saling mengejek.
... Lalu keduanya pun tertawa renyah saling mengejek.
Kartosuwirjo sendiri lebih muda 4 tahun dari Soekarno yang lahir 1901. Sedang Muso lebih tua 4 tahun dari Soekarno, sekaligus lebih senior berada di pondokan Cokroaminoto. Maka Muso adalah yang lebih dulu meninggalkan pondokan.
Dengan keberanian dan semangat melawan penjajahan Belanda yang dibawanya, akhirnya Muso ditangkap sebagai aktivis Sarekat Islam dan dipenjara oleh polisi Hindia Belanda, lalu dikeluarkan pada 1920. Paska lepas dari jeruji tahanan, Muso kembali melanglang buana, tidak lagi bergabung dengan Sarekat Islam. Merapat pada Partai Komunis Indonesia.
Sedang setahun setelah itu, di 1921 Soekarno juga meninggalkan pondokan karena melanjutkan kuliah Insinyurnya di Bandung. Bagaimana kabarnya Kartosuwirjo? Ia tetap mengabdi pada Sarekat Islam dan bahkan diangkat menjadi sekretaris pribadi Cokroaminoto. Berbeda dengan Muso yang memilih komunis sebagai ideologi politik, Kartosuwirjo jatuh cinta pada Syariat Islam (Al-Quran dan Hadits) sebagai ideologi politiknya.
Tahun 1934, sang guru bangsa Cokroaminoto berpulang ke hadirat Ilahi. Kartosuwirjo dengan dasar ideologinya dan dengan petualangan hidupnya membawanya pada ambisi akan Negara Islam Indonesia. Ia semakin jauh tidak lagi berada di pihak Islam Moderat, melainkan ke arah radikalis. Sementara Muso di tempat yang berbeda semakin terobsesi pada negara Komunis layaknya Rusia dan Cina.
Soekarno yang Nasionalis, Muso yang Komunis, dan Kartosuwirjo yang Islam Radikalis sama-sama berjuang melawan penjajah Belanda, sama-sama memimpikan Indonesia merdeka, dengan cara mereka masing-masing. Hingga akhirnya paska Indonesia merdeka, pada 13 Agustus 1948 Muso datang berkunjung ke Istana Negara menemui Soekarno. Setelah 30 tahun berpisah, pertemuan itu sontak membuat mereka erat berpelukan dalam rasa haru. Banyak saksi sejarah yang melihat momen mengharukan itu. Soekarno banyak memuji Muso, katanya Abangnya itu...
#bersambung!!
0 comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.