*APAKAH SEKOLAH KITA SUDAH "BERADAB"?*
(Irfan Amalee)
Setahun terakhir ini saya terlibat membantu program _Teaching Respect for All UNESCO_. Saya juga membantu sejumlah sekolah agar menjadi sekolah _welas asih_ (compassionate school). Dua hal di atas membawa saya bertemu dengan sejumlah sekolah, pendidik, hingga aktivis revolusioner dalam menciptakan pendidikan alternatif. Di benak saya ada satu pertanyaan: sudah se- "compassionate" apa sekolah kita? Sejauh mana sekolah menumbuhkan sikap _respect_ pada siswa dan guru, serta semua unsur di lingkungan sekolah? Karena _compassion_ (welas asih) dan _respect_ (sikap hormat dan empathy) adalah bagian dari _adab_ (akhlak) maka pertanyaannya bisa sedikit diubah dan terdengar kasar: *sudah seber-adab apakah sekolah kita?*
Rekan saya melakukan sebuah experimen yang menarik. Dia berkunjung ke *SD Ciputra*, sekolah milik peniputra yang menekankan pada *karakter*, *leadership* dan *entrepreneurship* serta memberi penghargaan pada *keragaman agama dan budaya*. Pada kunjungan pertama rekan saya itu datang dengan baju necis menggunakan mobil pribadi. Di depan gerbang Pak Satpam langsung menyambut hangat, "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" Rekan saya menjawab bahwa dia ingin bertemu dengan kepala sekolah, tetapi dia belum buat janji. Dengan sopan Pak Satpam berkata, "Baik, saya akan telepon Pak Kepala Sekolah untuk memastikan apakah bisa ditemui, bapak silakan duduk, mau minum kopi atau teh?" Pelayanan yang begitu mengesankan!
Di waktu lain, rekan saya datang lagi, dengan penampilan yang berbeda. Baju kumal, dengan berjalan kaki. Satpam yang bertugas memberikan sambutan yang tak beda dengan sebelumnya, diperlihakan duduk dan diberi minuman. Saat berjalan menuju ruang Kepala Sekolah, Satpam mengantarkan sambil terus bercerita, menjelaskan tentang sekolah, bangunan, serta cerita lain seolah dia adalah seorang _tour guide_ yang betul menguasai medan. Bertemu dengan Kepala Sekolah tak ada birokrasi rumit dan penuh suasana kehangatan. Padahal rekan saya itu bukan siapa-siapa, dan datang tanpa janjian sebelumnya. Melatih Satpam menjadi sigap dan waspada adalah hal biasa. Tetapi menciptakan Satpam dengan perangai mengesankan pastilah bukan kerja semalaman. Pastilah sekolah ini punya komitmen besar untuk menerapkan *karakter luhur* bukan hanya di buku teks dan di kelas. Tapi semua wilayah sekolah, sehingga saat kita masuk ke gerbangnya, kita bisa merasakannya. Itulah _hidden curriculum, culture_.
Di kesempatan lain, saya bersama rekan saya itu berkunjung ke sebuah sekolah Islam yang lumayan elit di sebuah kota besar (saya tidak akan sebut namanya). Di halaman sekolah terpampang baliho besar bertuliskan, *"The most innovative and creative elementary school"* sebuah penghargaan dari media-media nasional. Dinding-dinding sekolah dipenuhi foto-foto siswa yang menjuarai berbagai lomba. Ada dua lemari penuh dengan piala-piala. "Pastilah sekolah ini sekolah luar biasa," gumam saya. Kami berjalan menuju gerbang sekolah menemui Satpam yang bertugas. Setelah kami mengutarakan tujuan kami ketemu Kepala Sekolah, Satpam itu dengan posisi tetap duduk menunjuk posisi gerbang dengan hanya mengatakan satu kalimat, _"Lewat sana"_. Kami masuk ke sekolah tersebut. Di tangga menuju ruangan Kepala Sekolah, ada seorang ibu yang bertugas menjadi _front office_ menghadang kami dengan pertanyaan, _"Mau kemana?"_ dengan wajah tanpa senyum. Saat tiba di ruangan Kepala Sekolah, kebetulan saat itu mereka sedang rapat. Sehingga kami harus menunggu sekitar 45 menit. Selama kami duduk, berseliweran guru datang dan pergi tanpa ada ada yang menghampiri dan bertanya, _"Ada yang bisa saya bantu?"_ Akhirnya Kepala Sekolah mempersilakan kami untuk masuk ke ruangannya. Baru ngobrol sebentar, tiba- tiba seseorang di luar membuka pintu dan memasukkan kepalanya menanyakan sesuatu kepada Kepala Sekolah yang tengah mengobrol dengan kami. Tak lama dari itu tiba-tiba seorang guru masuk lagi langsung minta tanda-tangan tanpa peduli bahwa kami sedang mengobrol. Karena kesal, akhirnya Kepala Sekolah itu mengunci pintu agar tak ada orang masuk. Dalam obrolan, saya sempat bertanya, _"Apa kelebihan sekolah ini?"_ Kepala Sekolah terlihat berpikir keras selama beberapa menit sampai akhirnya menjawab, _"Ini seperti toko serba ada, semua ada"_. Dari jawaban itu saya baru faham, pantas saja Satpam sekolah ini tak punya _sense of excellent service_, Kepala Sekolahnya saja tak bisa menjelaskan apa _value preposition_ sekolahnya. Kemegahan bangunan, serta berbagai prestasi yang telah diraih, rasanya menjadi tak ada apa-apanya. Karena bukan itu yang membuat kita terkesan, melainkan atmosfir sekolah, _hidden curriculum, culture_.
Perjalanan kami lanjutkan ke sekolah Islam di tengah kampung. Bangunannya kecil sederhana. Pendiri sekolah ini seorang lulusan STM, tetapi mengabdikan separuh hidupnya untuk merumuskan dan menerapkan konsep *sekolah kreatif yang dapat memanusiakan manusia*. Saat ditanya tentang sekolahnya, dengan lancar dia menjelaskan konsep sekolah kreatif yang memberikan kertas besar pada *kreativitas anak dan guru*. Ruang kelas dibuat tanpa daun pintu. Hanya lubang- lubang besar berbentuk kotak, lingkaran, bulan sabit, bintang. Sehingga ketika guru tidak menarik, siswa boleh keluar kapan saja. Tak ada seragam sekolah dan buku pelajaran. Kami duduk di pelataran sekolah sambil menyaksikan keceriaan anak-anak yang tengah bermain. Selama kami duduk, ada tiga orang guru dalam waktu yang berbeda menghampiri menyambut kami dan bertanya, _"Ada yang bisa saya bantu?"_. Saya menangkap semangat melayani para guru tersebut. Mereka ingin memastikan tak ada tamu yang tak dilayani dengan baik. Saat mengamati anak-anak bermain, saya melihat ada seorang anak yang jatuh dan menangis. Saya menebak bahwa guru akan segera membantu. Tetapi tebakan saya salah. Ternyata dua teman sekelasnya datang menghibur dan membantunya untuk berdiri dan memapahnya ke kelas. Saya cukup terkesan. Di sekolah yang sederhana ini saya menangkap aura kebahagiaan dari siswa dan guru-gurunya. Saya tak perlu tahu kurikulum dan sistemnya, saya sudah bisa merasakannya. *Konsep* dan *Visi* pendirinya, ternyata bukan hanya di kertas. Saya bisa melihat dalam praktik. Itulah _hidden curriculum, culture_.
Pada kesempatan lain rekan saya pernah juga terkesan oleh siswa sekolah internasional yang kebanyakan siswanya berkebangsaan Jepang. Saat itu rekan saya akan mengisi acara di depan siswa pukul 10 pagi. Setengah sepuluh aula masih kosong. Tak ada orang, tak ada kursi. Lima belas menit sebelum acara para siswa datang, mengambil kursi lipat dan meletakkannya dalam posisi barisan yang rapi. Seusai acara, setiap siswa kembali melipat kursi dan meletakkannya di tempat penyimpanan, hingga ruangan kembali kosong dan bersih seperti semula. Itulah _culture_.
Dari cerita di atas, saya semakin tidak tertarik pada prestasi apa yang diraih sekolah, semegah apa sebuah sekolah. Saya lebih tertarik bagaimana *budaya sekolah* dibangun dan diterapkan? Banyak sekolah yang menginvestasikan begitu banyak waktu dan pikiran untuk menyabet berbagai penghargaan. Tapi tak banyak yang serius membuat sekolah menjadi berharga dengan *karakter* dan *budi pekerti*. Banyak guru dan pelatih didatangkan untuk memberikan pembinaan tambahan pada siswa agar dapat menang lomba. Tapi sedikit sekali pelatihan _service excellence_ untuk Satpam dan Karyawan. Dinding sekolah dipenuhi foto-foto siswa yang juara ini juara itu, tapi jarang sekali foto seorang siswa dipajang karena dia melakukan sebuah kebaikan. Kehebatan lebih dihargai daripada kebaikan. Prestasi lebih berharga dari budi pekerti.
Kita harus segera mengubah *sistem pendidikan* kita masih berorientasi pada _ta'lîm_ (mengajarkan) menjadi _ta'dîb_ (penanaman adab).
Dalam konsep _compassionate school_, *ta'dîb* harus diterapkan secara menyeluruh (whole school approach) meliputi tiga area:
_pertama_ *SDM* yaitu guru, karyawan, orang-tua, hingga satpam, _kedua_ *kurikulum*, dan yang _ketiga_ *iklim* atau _hidden curriculum_.
Sebuah sekolah bukanlah pabrik yang melahirkan siswa-siswa pintar. Tapi sebuah *lingkungan* yang membuat semua unsur di dalamnya menjadi lebih ber-adab.
Untuk mengukur apakah sebuah sekolah sudah menjadi _compassionate school_ tak serumit standar ISO. Cobalah berinteraksi dengan satpam sekolah, amatilah bagaimana guru beriteraksi, siswa bersikap. Rasakan atmosfirnya. Jika prestasi akademik bisa dilihat di selembar kertas, budi pekerti hanya bisa kita rasakan.
0 comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.