Andai ajal tak menjemput, bagi Bung Karno, seolah tak pernah ada
wanita terakhir untuk diperistri. Di hadapan wanita sepuh itu, Fatmawati
Sukarno bersimpuh. Sambil berurai air mata, dia bersujud menciumi kedua
kakinya. Dengan terbata-bata, Fatmawati meminta maaf karena telah
menjalin tali kasih dan menikah dengan Sukarno.
“Indung
mah lautan hampura (seorang ibu adalah lautan maaf),” si perempuan
sepuh itu membalas sambil memeluk dan mengelus kepala Fatmawati. Hanya,
ke depan, dia melanjutkan, jangan mencubit orang lain kalau tak ingin
dicubit, karena dicubit itu rasanya sakit. Si perempuan sepuh itu tak
lain adalah Inggit Garnasih. Dia perempuan kedua, setelah Oetari Tjokroaminoto, yang dinikahi
Bung Karno. Istri yang cuma bisa memberi tanpa mau meminta kepada
suaminya. Sayang, setelah 20 tahun berumah tangga, bahkan dengan setia
nunut Bung Karno hingga ke Ende dan Bengkulu, Inggit harus rela
berpisah. Karena si Bung terpikat pada Fatmawati, yang pernah ikut
mondok dalam rumah tangga mereka saat di Bengkulu. Kehendak Fatmawati
menemui Inggit di Jalan Ciateul Nomor 8, Bandung, seperti tertulis dalam
buku Fatmawati Sukarno: The First Lady karya Arifin Suryo Nugroho,
terwujud berkat bujuk rayu mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Ali
menemui Inggit pada 7 Februari 1980 untuk menjajaki kemungkinan
menerima kehadiran Fatmawati, yang telah 38 tahun tak lagi
berkomunikasi. Bagi Fatmawati, kehendaknya menemui mantan ibu angkatnya
itu seolah menjadi penyuci diri. Sebab, pada 14 Mei 1980, Fatmawati
berpulang setelah menunaikan umrah. Kehadiran anak kandung sangat
diidamkan Bung Karno, dan Fatmawati memberinya lima putra-putri.
Tapi
kebahagiaannya sebagai pendamping Bung Karno harus terkoyak pada tahun
ke-12. Sebab, belum genap dua hari ia melahirkan Guruh, Sukarno mendekat
sambil berkata lirih, “Fat, aku minta izinmu, aku akan kawin dengan
Hartini.” Tak terbayangkan betapa sakitnya hati Fatmawati kala itu. Tapi
bisa jadi itulah karma yang harus diterimanya setelah Bung Karno
terpaksa menceraikan Inggit, yang tak memberinya keturunan.
Kepada
Tempo edisi 22 september 1999, Hartini menepis tudingan publik bahwa
dirinya telah merebut Bung Karno dari Fatmawati. Untuk bersedia menerima
pinangan Bung Karno yang bertubi-tubi, dia harusmembayarnya dengan amat
mahal. Sebab, hampir semua media dan aktivis perempuan kala itu
menyudutkan dirinya, dan lebih membela Fatmawati. “Benar, sudah ada Ibu
Fatmawati, sang first lady, ketika saya menikah dengan Bung Karno. Tapi,
setelah saya, juga ada Dewi,” ujar Hartini. Dan, kalau dirinya
dikatakan merebut Bung Karno dari Ibu Fat, ia melanjutkan, bukankah Ibu
Fat juga merebut Bung Karno dari Ibu Inggit, dan Ibu Inggit merebutnya
dari Ibu Tari (Oetari)? Lalu, setelah Dewi, bukankah masih ada lagi
Haryatie, Yurike, dan belum pacar-pacar yang lain? Jadi semuanya sama.
Yang membedakan, hanya ada satu first lady. “Saya tidak merebut Bung
Karno. Saya menjalani takdir yang digariskan hidup,” Hartini menegaskan.
Total, Bung Karno sembilan kali resmi menikah. Andai ajal tak menjemput, bagi si Bung, seolah tak pernah ada wanita terakhir untuk diperistri. Seorang wanita yang dilimpahi
aliran cinta yang bergelora harus tabah menyaksikan padamnya api asmara
tatkala Sukarno terpikat pada wanita lain.
sumber | iniunic.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.